Sunday, November 22, 2015

Rusunami dan Rusunawa

Pengertian Rusun, Rusunami, dan Rusunawa
Rusun adalah singkatan dari rumah susun. Rumah susun sering kali dikonotasikan sebagai apartemen versi sederhana, walupun sebenarnya apartemen bertingkat sendiri bisa dikategorikan sebagai rumah susun. Rusun dibangun sebagai jawaban atas terbatasnya lahan untuk pemukiman di daerah perkotaan.
Rumah susun merupakan kategori rumah resmi pemerintah Indonesia untuk tipe hunian bertingkat seperti apartemen, kondominium, flat, dan lain-lain. Pada perkembangannya istilah rumah susun digunakan secara umum untuk menggambarkan hunian bertingkat kelas bawah, yang artinya berbeda dengan apartemen. Ada dua jenis rusun, yaitu rusunami dan rusunawa.
Rusunami merupakan akronim dari Rumah Susun Sederhana Milik. Penambahan kata "sederhana" setelah rusun bisa berakibat negatif, karena pada pikiran masyarakat awam rusun yang ada sudah sangat sederhana. Namun kenyataannya rusunami yang merupakan program perumahan yang digalakkan pemerintah ini, merupakan rusun bertingkat tinggi yaitu rusun dengan jumlah lantai lebih dari 8. Secara fisik, tampilan luarnya mirip dengan apartemen. Kata “milik” yang ditambahkan di belakangnya berarti pengguna tangan pertama adalah pembeli yang membeli secara langsung dari pengembangnya. Istilah lain yang sering diusung oleh para pengembang untuk rusunami adalah “apartemen bersubsidi”. Para pengembang umumnya lebih senang menggunakan istilah “apartemen” daripada “rusun” karena konotasi negatif yang melekat pada istilah “rusun”. Sedangkan penambahan kata “bersubsidi” disebabkan karena pemerintah memberikan subsidi bagi pembeli rusunami. Namun hanya pembeli yang memenuhi syarat saja yang berhak diberi subsidi. Warga masyarakat yang tidak memenuhi syarat tetap dapat membeli rusunami, namun tidak berhak atas subsidi.
Hampir sama dengan Rusunami, Rusunawa adalah Rumah Susun Sederhana Sewa. Rusunawa umumnya memiliki tampilan yang kurang lebih sama dengan rusunami, namun bedanya penggunanya harus menyewa dari pengembangnya.


Kelebihan dan Kekurangan Rusunami, Rusunawa
Dengan mempertimbangakan fakta sempitnya lahan perkotaan untuk tempat tinggal dan nilai ekonomis lahan yang sangat tinggi karena harus bersaing dengan kepentingan bisnis, maka alternatif rumah susun di wilayah perkotaan merupakan solusi yang tepat. Namun masih perlu dicermati mana yang lebih sesuai untuk diimplementasikan oleh Pemerintah, apakah rumah susun milik (rusunami) ataukah rumah susun sewa (rusunawa). Kedua model rumah susun ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Kehadiran rusunami di perkotaan bisa menjawab kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat yang menganut paradigma konvensional yaitu bertempat tinggal berarti menempati rumah milik sendiri. Namun rusunami memiliki beberapa kelemahan. Dari segi harganya pasti relatif lebih mahal sehingga jangkauan pasarnya relatif juga terbatas. Kecuali apabila kebijakan subsidi pemerintah diterapkan maka pangsa pasar menjadi lebih luas sehingga golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat menjangkaunya.
Disamping itu rusunami juga memiliki kelemahan teknis , yaitu dari aspek maintainace sustainability atau keberlanjutan pemeliharaan bangunan. Setelah dipergunakan terus menerus selama sepuluh tahun pada umumnya secara teknis bangunan bertingkat akan bermasalah sistem utilitasnya, apabila faktor pemeliharaannya tidak diperhatikan sejak awal. Gejala ini telah tampak dengan nyata pada banyak rusunami untuk MBR yang di bangun Perumnas pada beberapa kota besar. Keadaan ini seringkali diakibatkan oleh tidak sepakatnya para penghuni/pemilik bangunan atas besarnya nilai biaya untuk pemeliharaan sistem utilitas maupun struktur bangunannya. Hingga saat ini pemerintah belum bisa memikirkan cara-cara yang tepat untuk meningkatkan kualitas rusunami serta lingkungannya yang mulai berkembang menjadi kawasan kumuh. Kendala ini justru disebabkan oleh status rumah susun itu yang merupakan milik perseorangan.
Rumah kontrakan , rumah indekost dan rusunawa sebagai alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal di perkotaan memiliki beberapa keunggulan. Dari sisi harga sewa dan sistem sewa (harian,bulanan atau tahunan) dapat dibuat banyak variasi yang relatif terjangkau oleh golongan MBR maupun MBS (masyarakat berpenghasilan sedang), karena komponen terbesar dari harga sewa yaitu kepemilikan lahan dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena status kepemilikan lahan tidak berpindah tangan sehingga fluktuasi harga lahan dapat dikendalikan. Disamping itu biaya untuk kelengkapan prasarana dan sarana utilitas lingkungan relatif kecil karena kebutuhan fasilitas ini sebagian besar dapat dipenuhi oleh fasilitas kota yang telah ada sebelumnya.
Keunggulan lain yaitu keberlanjutan pemeliharaan bangunan dapat terjamin karena telah diprediksikan sejak awal dan diperhitungkan kedalam harga sewa.
Disamping keunggulan diatas rusunawa juga memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama adalah belum adanya kepastian regulasi atas fluktuasi harga sewa. Para penyewa seringkali harus mengalah atas kenaikan harga sewa yang dilakukan semena-mena oleh pemilik bangunan terutama milik perseorangan. Hal ini dapat terjadi karena masih langkanya supply rumah sewa di perkotaan. Karena itu diperlukan upaya yang sungguh sungguh dari berbagai pihak (pemerintah dan masyarakat) untuk dapat menggeser secara bertahap atau merubah paradigma bertempat tinggal dari landed houses menjadi rumah susun sewa.

Ruang Terbuka Hijau


Pengertian Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area yang memanjang berbentuk jalur dan atau area mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. Dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20% publik dan 10% privat. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Contoh RTH Publik adalah taman kota, hutan kota, sabuk hijau (green belt), RTH di sekitar sungai, pemakaman, dan rel kereta api. Sedangkan RTH Privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.


Penyediaan RTH memliki tujuan sebagai berikut :

  1. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air,
  2. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
  3. Meningkatakan keserasian lingkunagn perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

RTH yang telah ada baik secara alami ataupun buatan diharapkan dapat menjalankan empat (4) fungsi sebagai berikut :

  1. Fungsi ekologis antara lain : paru-paru kota, pengatur iklim mikro, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitas satwa, penyerap polutan dalam udara, air dan tanah, serta penahan angin.
  2. Fungsi sosial budaya antara lain : menggambarkkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi, dan tempat rekreasi warga.
  3. Fungsi ekonomi antara lain : sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, buah, daun, dan sayur mayur. Beberapa juga berfungsi sebagai bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain.
  4. Fungsi estetika antara lain meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik skala mikro (halaman rumah/lingkungan pemukiman), maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan); menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.

Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologis. dan konservasi hayati.

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi dalam kategori sebagai berikut :

  1. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible)

Yaitu  membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, dan buah).

  1. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible).

Yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, dan pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati dan keanekaragaman hayati)

sumber

 Kota - Kota yang Mulai Menerapkan RTH < 30%

1. Kota Bandung


            Saat ini, pemerintah setiap kota termasuk Kota Bandung diharuskan untuk meningkatkan luasan RTHnya hingga mencapai 30 % dari total luas wilayah seperti yang disebutkan dalam Undang- Undang Nomor 26 tentang Penataan Ruang (UU No. 26/2007) yang mengharuskan kota/kabupaten memiliki RTH seluas 30 persen di wilayahnya yang mencakup 20 % RTH publik dan 10 % RTH privat. Dalam Master Plan Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung 2012-2032 disebutkan bahwa total luas ruang terbuka hijau (RTH) eksisting Kota Bandung pada tahun 2011 adalah, 1.910,49 hektar (ha), 11,43 % dari luas kota. Dari luas total tersebut, luas RTH publik sebesar 1.018,54 hektar (ha) atau 6,1 % dan RTH privat 891,95 hektar (ha) atau 5,33 %. Jumlah tersebut tidak lepas dari ancaman pengurangan setiap tahunnya akibat alih fungsi RTH menjadi area terbangun untuk mendukung aktivitas masyarakat, sebagai konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk kota Bandung. Kebutuhan masyarakat akan perumahan, kantor, pertokoan dan fasilitas bangunan lainnya menyebabkan perubahan tersebut tidak dapat dihindari. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah kota Bandung dalam melakukan pengembangan RTH di Kota Bandung.

Terkait dengan peningkatan luasan RTH, pemerintah Kota Bandung telah memuat rencana ini dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung 2011-2031 seperti yang diuraikan pada Tabel 1. Rencana penambahan RTH dari 1.910, 49 ha menjadi 5.104,14 ha akan diwujudkan melalui pemanfaatan kawasan yang potensial dijadikan RTH. Lahan potensial yang dimaksud meliputi kawasan terbangun dan tidak terbangun dengan luas area mencapai 16.803,61 ha. Dibutuhkan kerja sama dan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk mendukung rencana pemerintah ini mengingat pengembangan RTH merupakan hal penting akan tetapi rawan konflik mengingat kepemilikan dan pengelolaannya yang tersebar pada ranah publik dan privat.

  

2. Kota Banda Aceh

Ruang terbuka hijau (RTH) adalah salah satu elemen terpenting kota hijau. Ruang terbuka hijau berguna dalam mengurangi polusi, menambah estetika kota, serta menciptakan iklim mikro yang nyaman. Hal ini dapat diciptakan dengan perluasan lahan taman, koridor hijau dan lain-lain.

Dalam kota yang dibangun dengan kebijakan pembangunan yang economic-driven, open space sering dianggap sebagai elemen yang tidak terlalu penting karena nilainya dianggap tidak terlalu profitable. Namun, bagi kota yang telah memilih pembangunan berkelanjutan, open space justru menempati posisi yang sangat penting.

Persaingan kota-kota dunia di milenium ini tidak hanya tentang kekuatan ekonomi, namun telah bergeser dalam persaingan quality of life, sebuah kualitas kota yang diukur secara komprehensif dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Untuk mencapai standar quality of life ini, open space memegang peranan sangat penting. dalam ekonomi, perusahaan-perusahaan besar sekarang telah melihat faktor quality of life sebuah kota sebagai bagian penting dari faktor penentu kebijakan investasi. Selain itu, quality of life yang tinggi juga mengundang warga kelas atas untuk berdatangan bahkan tinggal di sebuah kota. Faktor quality of life juga sangat menentukan bagi industri dan bisnis yang berbasis jasa dan inovasi, seperti bisnis hotel dan bisnis berbasis informasi dan teknologi. Oleh karena itu, visi green city pada dasarnya juga sejalan dengan visi cyber city kota Banda Aceh. dalam hal sosial, green open space yang atraktif adalah public sphere yang menarik untuk tempat pertemuan dan interaksi sosial. oleh karena itu, keberadaan green open space yang mencukupi dapat berperan signifikan dalam menghidupkan kehidupan sosial warga. Oleh karena itu, ia sejalan dengan visi sosial islam dan Aceh yang menghendaki kehidupan sosial yang berbasis kekeluargaan dan persaudaraan untuk membangun “ummah” yang kokoh. Dari sisi lingkungan, green open space berperan dalam mengurangi polusi, menciptakan iklim mikro yang nyaman, meningkatkan keindahan kota dan lain-lain.

Mengingat pentingnya peranan ruang terbuka hijau dalam visi green city, Pemko Banda Aceh telah melahirkan Qanun No. 4 Tahun 2009 tentang RTRW Kota Banda Aceh 2009-2029. Dalam qanun ini, ditetapkan bahwa pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) meliputi taman kota, hutan kota, jalur hijau jalan, sabuk hijau, RTH pengaman sungai dan pantai atau RTH tepi air. Pengaturan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Banda Aceh disebar pada setiap desa/gampong (90 gampong).

Jumlah RTH hingga tahun 2011 meliputi taman kota tersebar pada 40 gampong dan hutan kota tersebar pada 19 gampong. Target pencapaian RTH gampong setiap 5 tahun sebanyak 12 taman kota dan 18 hutan kota sehingga pada tahun 2029 pemanfaatan ruang terbuka hijau telah tersebar merata di seluruh gampong di Kota Banda Aceh.

Sesuai dengan RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029, pemerintah Kota Banda Aceh menargetkan RTH publik sebesar 20,52%. Hingga tahun 2011 ini luas RTH (ruang terbuka hijau) yang dimiliki oleh Pemerintah Kota adalah sebesar ± 12,0%. Untuk mencapai target 20,52% tersebut, Pemerintah Kota terus berupaya mengimplemetasikan berbagai kebijakan dan program perluasan ruang terbuka hijau.

Untuk RTH privat, kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh sudah menerapkan RTH seluas 30 – 40% dari setiap persil bangunan, dimana angka persentase luasan RTH ini sudah melebihi target yang ditetapkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu 10%. RTH yang dikembangkan di Banda Aceh meliputi sempadan sungai, sempadan pantai, sepanjang jaringan jalan, pemakaman, taman kota yang tersebar pada setiap kecamatan, dan hutan kota.

Pada kawasan pesisir pantai, RTH berfungsi sebagai penyangga bagi daerah sekitarnya dan penyangga antara kawasan pesisir dengan kawasan terbangun juga berfungsi mereduksi gelombang pasang dan meminimalkan gelombang tsunami. Oleh karena itu, bagi Kota Banda Aceh, RTH di sepanjang pesisir pantai juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari strategi mitigasi bencana. Selain itu, ia juga berperan  untuk mengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta memelihara kesuburan tanah. Sementara itu, RTH di dalam kota seperti RTH di sempadan sungai dan di sepanjang jalan berfungsi peneduh/penyejuk, penetralisasi udara, dan keindahan dan menjaga keseimbangan iklim mikro. Untuk mendukung keberadaan RTH dan menjaga keseimbangan iklim mikro, Kota Banda Aceh juga didukung oleh beberapa kawasan tambak, tandon, kawasan bakau dan tujuh aliran sungai yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area), kegiatan perikanan, dan sebagainya.

Selain itu, Kota Banda Aceh juga melakukan peningkatan/revitalisasi hutan dan taman Kota. Juga dilakukan pemeliharaan berkala terhadap 74 taman, 10 areal perkuburan, taman pembibitan (7.12 Ha), dan hutan kota (6 Ha) yang ada di Kota Banda Aceh.


 sumber