MENDEFINISIKAN KEMBALI ARSITEKTUR TROPIS DI INDONESIA
(Tri Harso Karyono)
Salah satu alasan mengapa manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam
iklim tempat manusia berada tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya.
Aktivitas manusia yang bervariasi memerlukan kondisi iklim sekitar tertentu yang
bervariasi pula. Untuk melangsungkan aktivitas kantor, misalnya, diperlukan ruang dengan
kondisi visual yang baik dengan intensitas cahaya yang cukup; kondisi termis yang
mendukung dengan suhu udara pada rentang-nyaman tertentu; dan kondisi audial dengan
intensitas gangguan bunyi rendah yang tidak mengganggu pengguna bangunan.
Karena cukup banyak aktivitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan akibat
ketidaksesuaian kondisi iklim luar, manusia membuat bangunan. Dengan bangunan, diharapkan
iklim luar yang tidak menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasidiubah menjadi iklim
dalam (bangunan) yang lebih sesuai.
Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar yang tidak sesuai menjadi iklim dalam
(bangunan) yang sesuai seringkali tidak seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia
di daerah tropis seringkali gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam
bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru seringkali merasakan
udara ruang yang panas, sehingga kerap mereka lebih memilih berada di luar bangunan.
Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan iklim dalam bangunan
yang dirancangnya, ia secara benar mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk
memodifikasi iklim. Iklim luar yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas
manusia dicoba untuk diubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai. Para arsitek yang
kebetulan hidup, belajar dan berprofesi di negara beriklim sub-tropis, secara sadar atau
tidakatau karena aturan membangun setempatkerap melakukan tindakan yang benar. Karya
arsitektur yang mereka rancang selalu didasari pertimbangan untuk memecahkan permasalahan
iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat dengan dinding rangkap yang tebal,
dengan penambahan bahan isolasi panas di antara kedua lapisan dinding sehingga panas di
dalam bangunan tidak mudah dirambatkan ke udara luar.
Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna mengatasi iklim sub-tropis setempat,
karya mereka tidak pernah disebut sebagai karya arsitektur sub-tropis, melainkan sebagai
arsitektur Victorian, Georgian dan Tudor; sementara sebagian karya yang lain
diklasifikasikan sebagai arsitektur modern (modern architecture), arsitektur pasca-modern
(post-modern architecture), arsitektur modern baru (new modern architecture), arsitektur
teknologi tinggi (high-tech architecture), dan arsitektur dekonstruksi (deconstruction architecture).
Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi masalah iklim
setempat tidak selalu diberi sebutan arsitektur iklim tersebut, karena pemecahan
problematik iklim merupakan suatu tuntutan mendasar yang 'wajib' dipenuhi oleh suatu karya
arsitektur di manapun dia dibangun. Sebutan tertentu pada suatu karya arsitektur hanya
diberikan terhadap ciri tertentu karya tersebut yang kehadirannya 'tidak wajib', serta
yang kemudian memberi warna atau corak pada arsitektur tersebut. Sebut saja arsitektur
yang 'bersih' tanpa embel-embel dekorasi, yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form
follows function) disebut arsitektur modern. Arsitektur dengan penyelesaian estetika
tertentuyang antara lain menyangkut bentuk, ritme dan aksentuasidiklasifikasikan (terutama
oleh Charles Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya arsitektur pasca-modern,
modern baru dan dekonstruksi. Semua karya arsitektur tersebut tidak pernah diberi julukan
'arsitektur sub-tropis' meskipun karya tersebut dirancang di daerah iklim sub-tropis guna
mengantisipasi masalah iklim tersebut.
Kemudian mengapa muncul sebutan arsitektur tropis? Seolah-olah jenis arsitektur ini
sepadan dengan julukan bagi arsitektur modern, modern baru dan dekonstruksi. Jenis yang
disebut belakangan lebih mengarah pada pemecahan estetika seperti bentuk, ritme dan
hirarki ruang. Sementara arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, adalah
karya arsitektur yang mencoba memecahkan problematik iklim setempat.
Bagaimana problematik iklim tropis tersebut dipecahkan secara desain atau rancangan
arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam. Seperti halnya yang terjadi pada
arsitektur sub-tropis, arsitek dapat menjawab dengan warna pasca-modern, dekonstruksi
ataupun High-Tech, sehingga pemahaman tentang arsitektur tropis yang selalu beratap lebar
ataupun berteras menjadi tidak mutlak lagi. Yang penting apakah rancangan tersebut sanggup
mengatasi problematik iklim tropishujan deras, terik radiasi matahari, suhu udara yang
relatif tinggi, kelembapan yang tinggi (untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang
relatif rendahsehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di alam terbuka, menjadi
nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis itu. Bangunan dengan atap lebar mungkin
hanya mampu mencegah air hujan untuk tidak masuk bangunan, namun belum tentu mampu
menurunkan suhu udara yang tinggi dalam bangunan tanpa disertai pemecahan rancangan lain
yang tepat.
Dengan pemahaman semacam ini, kemungkinan bentuk arsitektur tropis, sebagaimana
arsitektur sub-tropis, menjadi sangat terbuka. Ia dapat bercorak atau berwarna apa saja
sepanjang bangunan tersebut dapat mengubah kondisi iklim luar yang tidak nyaman, menjadi
kondisi yang nyaman bagi manusia yang berada di dalam bangunan itu. Dengan pemahaman
semacam ini pula, kriteria arsitektur tropis tidak perlu lagi hanya dilihat dari sekedar
'bentuk' atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas
fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembapan relatif tidak terlalu
tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan,
dan terhindar dari terik matahari. Penilaian terhadap baik atau buruknya sebuah karya
arsitektur tropis harus diukur secara kuantitatif menurut kriteria-kriteria fluktuasi suhu
ruang (dalam unit derajat Celcius); fluktuasi kelembapan (dalam unit persen); intensitas
cahaya (dalam unit lux); aliran atau kecepatan udara (dalam unit meter per detik); adakah
air hujan masuk bangunan; serta adakah terik matahari mengganggu penghuni dalam bangunan.
Dalam bangunan yang dirancang menurut kriteria seperti ini, pengguna bangunan dapat
merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di alam luar.
Penulis menganggap bahwa definisi atau pemahaman tentang arsitektur tropis di
Indonesia hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur tropis sering sekali dibicarakan,
didiskusikan, diseminarkan dan diperdebatkan oleh mereka yang memiliki keahlian dalam
bidang sejarah atau teori arsitektur. Arsitektur tropis seringkali dilihat dari konteks
'budaya'. Padahal kata 'tropis' tidak ada kaitannya dengan budaya atau kebudayaan,
melainkan berkaitan dengan 'iklim'. Pembahasan arsitektur tropis harus didekati dari aspek
iklim. Mereka yang mendalami persoalan iklim dalam arsitekturpersoalan yang cenderung
dipelajari oleh disiplin ilmu sains bangunan (fisika bangunan)akan dapat memberikan
jawaban yang lebih tepat dan terukur secara kuantitatif. Mereka yang dianggap ahli dalam
bidang arsitektur tropisKoenigsberger, Givoni, Kukreja, Sodha, Lippsmeier dan Nick
Bakermemiliki spesialisasi keilmuan yang berkaitan dengan sains bangunan, bukan ilmu
sejarah atau teori arsitektur.
Kekeliruan pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia nampaknya dapat
dipahami, karena pengertian arsitektur tropis sering dicampuradukkan dengan pengertian
'arsitektur tradisional' di Indonesia, yang memang secara menonjol selalu dipecahkan
secara tropis. Pada masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian dari alam begitu
dihormati bahkan dikeramatkan, sehingga pertimbangan iklim amat menonjol pada karya
arsitektur tersebut. Manusia Indonesia cenderung akan membayangkan bentuk-bentuk
arsitektur tradisional Indonesia ketika mendengar istilah arsitektur tropis. Dengan
bayangan iniyang sebetulnya tidak seluruhnya benarpembicaraan mengenai arsitektur tropis
akan selalu diawali. Dari sini pula pemahaman mengenai arsitektur tropis lalu memiliki
konteks dengan budaya, yakni kebudayaan tradisional Indonesia. Hanya mereka yang mendalami
ilmu sejarah dan teori arsitektur yang mampu berbicara banyak mengenai budaya dalam
kaitannya dengan arsitektur, sementara arsitektur tropis (basah) tidak hanya terdapat di
Indonesia, akan tetapi di seluruh negara yang beriklim tropis (basah) dengan budaya yang
berbeda-beda, sehingga pendekatan arsitektur tropis dari aspek budaya menjadi tidak
relevan.
Dari uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan rancangan arsitektur
tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka. Arsitektur tropis dapat berbentuk apa
sajatidak harus serupa dengan bentuk-bentuk arsitektur tradisional yang banyak dijumpai di
wilayah Indonesia, sepanjang rancangan bangunan tersebut mengarah pada pemecahan persoalan
yang ditimbulkan oleh iklim tropis seperti terik matahari, suhu tinggi, hujan dan
kelembapan tinggi.
sumber
No comments:
Post a Comment